Sejarah Tambang Batubara: Emas Hitam Penyokong Revolusi Industri Eropa

Indonesianer.com
4 min readFeb 20, 2020

--

Tambang Batu Bara Era Kolonialisme

Indonesianer.com. Sejarah tambang batubara di Indonesia bermula di Kalimantan Timur, tepatnya di wilayah Samarinda. Adalah seorang pedagang dari Inggris bernama George Peacock (G.P.) King yang mengadakan penelitian di sekitar Sungai Mahakam pada tahun 1845.

Pada saat itu Samarinda berada di bawah kuasa pemerintah kolonial. Sebelum 1845, Samarinda menginduk kepada Kesultanan Kutai. Tapi setelah serangkaian perjanjian dari 1825–1845, Sultan Kutai mengakui pemerintah kolonial sebagai pemilik sah pesisir Kalimantan Timur, termasuk Samarinda, gerbang masuk menuju wilayah Kutai.

Pengakuan atas perjanjian tersebut menempatkan pemerintah kolonial sebagai pemegang izin perdagangan dan penelusuran batubara. Penemu batubara tidak lantas bisa memperdagangkan hasil temuannya. Mereka harus melaporkan temuannya ke Gubernur Jenderal di Batavia.

Batubara penting untuk menggerakkan kendaraan transportasi dan pabrik bermesin uap. Penggunaan mesin uap mulai lazim di Eropa sejak pertengahan abad ke-18, masa yang dikenal sebagai Revolusi Industri.

Negeri Belanda dan koloninya tidak luput dari penggunaan kendaraan transportasi dan pabrik bermesin uap. Kebutuhan batubara meningkat drastis di dua wilayah ini. Maka batubara menjadi komoditas berharga sepanjang abad ke-19 bagi pemerintah kolonial.

Batubara mempunyai beberapa tingkatan kualitas: yang terburuk sampai yang terbaik. Temuan G.P. King termasuk berkualitas buruk. Batubara itu tak laku diperdagangkan dan kurang bisa diandalkan untuk menggerakkan mesin uap.

Penelusuran berlanjut ke Palaran, tak jauh dari tempat pertama. Di sini orang-orang G.P. King menemukan batubara berkualitas baik. G.P. King lekas mengajukan izin penggalian lanjutan dan perdagangan batubara. Tetapi permintaannya terhempas oleh Besluit (Keputusan) pemerintah kolonial №45, 24 Oktober 1850. Besluit bertujuan menjamin semua potensi alam jatuh seutuhnya ke penguasaan orang-orang Belanda dan larangan memberikan izin penggalian tanah yang mengandung bahan tambang berharga kepada pihak selain orang Belanda.

Upaya rintisan G.P. King diambil-alih oleh Pemerintah Kolonial. Pada November 1860, Pemerintah kolonial menemukan lapisan batubara berkualitas baik di sepanjang Sungai Mahakam, dekat bukit Palaran. Mereka menggali dan memperoleh 800 ton batubara pada 1861. Semua hasil ini dipakai untuk kapal uap Belanda.

Kemudian pemerintah kolonial mengundang seorang insinyur pertambangan asal Belanda bernama Jacobus Herbertus Menten pada 1862. Dia bertugas menggali lebih banyak batubara di Palaran.

Buruh Batubara
Penggalian batubara ditopang oleh kerja para buruh Tionghoa dari Tumasik (Singapura) dan Penang (Malaysia). Selain buruh dari Tiongkok, ada pula kuli-kuli asal Jawa, Madura, Bugis, dan orang tempatan (Dayak). Hasilnya cukup berarti bagi pertambahan batubara. Dari 800 ton pada 1861 menjadi 1.292 ton pada 1862.

Tidak semua buruh terlibat langsung dalam penggalian batubara. Orang Dayak, misalnya, bekerja mengangkut batubara ke suatu tempat. Mereka juga hanya bekerja dalam jangka pendek, sekira dua atau tiga minggu.

Buruh pertambangan batubara harus memiliki kekuatan fisik dan daya tahan luar biasa. Mereka bekerja di tengah hutan, menggali siang-malam, dan berhadapan dengan sikap kasar pengelola pertambangan.

Kerasnya lingkungan kerja mempercepat titik didih darah para buruh. Masalah kecil bisa lekas membesar. Kejengkelan meluap. Perkelahian antar buruh pun kerap terjadi. Korban luka dan putus nyawa sudah kaprah.

Pemerintah kolonial cukup kerepotan dengan kasus buruh kabur. Mereka mencegahnya dengan memperketat penjagaan dan membuat aturan baru. Cara lainnya dengan menyediakan hiburan, pasar, dan arena judi.

Cara-cara tersebut berhasil mengikat buruh dengan pertambangan. Sebab upah buruh habis di arena judi dan hiburan. Lalu buruh berutang kepada pengelola tambang melalui mandor.

Utang para buruh bisa saja membengkak. Jika mereka berniat kabur, penjagaan jauh lebih ketat daripada sebelumnya. Tidak ada celah lagi untuk kabur. Akhirnya, mereka membayar utangnya dengan bekerja di tambang lebih lama sampai utangnya lunas.

Dengan lingkungan kerja demikian, produksi batubara meningkat selama dua tahun: 1862 (1.129 ton) dan 1863 (1.490 ton). Tahun berikutnya produksi menurun lantaran tanah galian kurang dalam. Produksi meningkat kembali pada 1865 (4.025) setelah buruh menggali lebih dalam.

Produksi Menurun
Tetapi tahun berikutnya, penggalian batubara di Palaran mengecewakan pemerintah kolonial. Jumlah batubara berkualitas baik di Palaran ternyata hanya sedikit.

Kekecewaan pemerintah kolonial bertambah setelah seorang kuli bertindak ceroboh. Dia merokok di area tambang batubara. Apinya menyambar gas metana, lalu membakar tambang pada 1866. Kegiatan penambangan berhenti beberapa bulan. Produksi batubara tahun ini menurun tajam ke angka 1.404 ton.

Masuk tahun baru 1867, penggalian batubara berlanjut lagi. Para buruh menggali hingga kedalaman 34 meter. Tapi kerja keras ini belum cukup meningkatkan produksi batubara. Angka produksinya berada di 304 ton.

Dua tahun berturut-turut, produksi batubara kembali naik. Berkisar di angka 700-an ton. Kemudian turun ke angka 500 ton (1870) dan mencapai titik terendahnya pada 1871 (105 ton).

Rentetan kejadian tadi menguras kas pemerintah kolonial. Sedangkan penggalian batubara telah makan banyak biaya. Untuk menutup kerugiannya, pemerintah kolonial berupaya menarik dana dari pihak swasta berdasarkan Mijn Reglement (Peraturan Pertambangan) 1850. Tapi hasilnya nihil.

“Pemerintah menolak untuk menginvestasikan banyak dana, selain gagal pula untuk menarik pemodal swasta untuk mengambil alih. Palaran diberikan kepada penasihat sultan Arab (Kutai, red.) di tahun 1872,” catat Thomas J. Lindblad dalam Antara Dayak dan Belanda: Sejarah Ekonomi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan 1880–1942.

Penambangan batubara di Palaran meninggalkan lubang besar bekas galian. Para buruh penasihat Sultan Kutai bekerja di lubang-lubang besar bekas galian tersebut dengan teknologi lebih primitif daripada kepunyaan pemerintah kolonial. Mereka menggali selama bertahun-tahun. Tapi gagal menemukan batubara berkualitas baik.

Ketika para buruh menggali tanpa hasil, pemerintah kolonial telah menemukan potensi batubara berkualitas baik di pinggiran Sungai Mahakam antara Samarinda dan Tenggarong. Di sinilah kelak berdiri perusahaan batubara swasta pertama di Kalimantan Timur, Oost-Borneo Maatschappij (OBM) pada 1888. (www.indonesianer.com)

--

--

Indonesianer.com
Indonesianer.com

Written by Indonesianer.com

#Indonesianer is an independent and trusted premier source of all kinds of good news from Indonesia. www.indonesianer.com

No responses yet